Al-Quran
menggunakan kata shiyam sebanyak delapan kali, kesemuanya dalam arti
puasa menurut pengertian hukum syariat. Sekali Al-Quran juga menggunakan
kata shaum, tetapi maknanya adalah menahan diri untuk tidak bebicara:
Sesungguhnya Aku bernazar puasa (shauman), maka hari ini aku tidak akan berbicara dengan seorang manusia pun (QS Maryam [19]: 26).
Demikian
ucapan Maryam a.s. yang diajarkan oleh malaikat Jibril ketika ada yang
mempertanyakan tentang kelahiran anaknya (Isa a.s.). Kata ini juga
terdapat masing-masing sekali dalam bentuk perintah berpuasa di bulan
Ramadhan, sekali dalam bentuk kata kerja yang menyatakan bahwa "berpuasa
adalah baik untuk kamu", dan sekali menunjuk kepada pelaku-pelaku puasa
pria dan wanita, yaitu ash-shaimin wash-shaimat.
Kata-kata yang beraneka bentuk itu, kesemuanya terambil dari akar
kata yang sama yakni sha-wa-ma yang dari segi bahasa maknanya berkisar
pada "menahan" dan "berhenti atau "tidak bergerak". Kuda yang berhenti
berjalan dinamai faras shaim. Manusia yang berupaya menahan diri dari
satu aktivitas --apa pun aktivitas itu-- dinamai shaim (berpuasa).
Pengertian kebahasaan ini, dipersempit maknanya oleh hukum syariat,
sehingga shiyam hanya digunakan untuk "menahan diri dar makan, minum,
dan upaya mengeluarkan sperma dari terbitnya fajar hingga terbenamnya
matahari".
Kaum sufi, merujuk ke hakikat dan tujuan puasa,
menambahkan kegiatan yang harus dibatasi selama melakukan puasa. Ini
mencakup pembatasan atas seluruh anggota tubuh bahkan hati dan pikiran
dari melakukan segala macam dosa. Betapa pun, shiyam atau shaum --bagi
manusia-- pada hakikatnya adalah menahan atau mengendalikan diri. Karena
itu pula puasa dipersamakan dengan sikap sabar, baik dari segi
pengertian bahasa (keduanya berarti menahan diri) maupun esensi
kesabaran dan puasa.
Hadis qudsi yang menyatakan antara lain
bahwa, "Puasa untuk-Ku, dan Aku yang memberinya ganjaran" dipersamakan
oleh banyak ulama dengan firman-Nya dalam surat Az-Zumar (39): 10.
Sesungguhnya
hanya orang-orang yang bersabarlah yang disempurnakan pahalanya tanpa
batas. Orang sabar yang dimaksud di sini adalah orang yang berpuasa.
Ada beberapa macam puasa dalam pengertian syariat/hukum sebagaimana disinggung di atas.
1. Puasa wajib pada bulan Ramadhan.
2. Puasa kaffarat, akibat pelanggaran, atau semacamnya.
3. Puasa sunnah.
PUASA RAMADHAN
Uraian
Al-Quran tentang puasa Ramadhan, ditemukan dalam surat Al-Baqarah (2):
183, 184, 185, dan 187. Ini berarti bahwa puasa Ramadhan baru diwajibkan
setelah Nabi Saw. tiba di Madinah, karena ulama Al-Quran sepakat bahwa
surat Al-Baqarah turun di Madinah. Para sejarawan menyatakan bahwa
kewajiban melaksanakan puasa Ramadhan ditetapkan Allah pada 10 Sya'ban
tahun kedua Hijrah. Apakah kewajiban itu langsung ditetapkan oleh
Al-Quran selama sebutan penuh, ataukah bertahap? Kalau melihat sikap
Al-Quran yang seringkali melakukan penahapan dalam perintah-
perintahnya, maka agaknya kewajiban berpuasa pun dapat dikatakan
demikian. Ayat 184 yang menyatakan ayyaman ma'dudat (beberapa hari
tertentu) dipahami oleh sementara ulama sebagai tiga hari dalam sebutan
yang merupakan tahap awal dari kewajiban berpuasa. Hari-hari tersebut
kemudian diperpanjang dengan turunnya ayat 185:
Barangsiapa di antara kamu yang hadir (di negeri tempat tinggalnya) pada bulan itu (Ramadhan), maka hendaklah ia berpuasa (selama bulan itu), dan siapa yang sakit atau dalam perjalanan, maka wajib baginya berpuasa sebanyak hari yang ditinggalkannya.
Pemahaman
semacam ini menjadikan ayat-ayat puasa Ramadhan terputus-putus tidak
menjadi satu kesatuan. Merujuk kepada ketiga ayat puasa Ramadhan sebagai
satu kesatuan, penulis lebih cenderung mendukung pendapat ulama yang
menyatakan bahwa Al-Quran mewajibkannya tanpa penahapan. Memang, tidak
mustahil bahwa Nabi dan sahabatnya telah melakukan puasa sunnah
sebelumnya. Namun itu bukan kewajiban dari Al-Quran, apalagi tidak
ditemukan satu ayat pun yang berbicara tentang puasa sunnah tertentu.
Uraian
Al-Quran tentang kewajiban puasa di bulan Ramadhan, dimulai dengan satu
pendahuluan yang mendorong umat islam untuk melaksanakannya dengan
baik, tanpa sedikit kekesalan pun.
Perhatikan surat Al-Baqarah (2): 185. ia dimulai dengan panggilan mesra, "Wahai
orang-orang yang beriman, diwajibkan kepada kamu berpuasa." Di sini
tidak dijelaskan siapa yang mewajibkan, belum juga dijelaskan berapa
kewajiban puasa itu, tetapi terlebih dahulu dikemukakan bahwa,
"sebagaimana diwajibkan terhadap umat-umat sebelum kamu." Jika
demikian, maka wajar pula jika umat Islam melaksanakannya, apalagi
tujuan puasa tersebut adalah untuk kepentingan yang berpuasa sendiri
yakni "agar kamu bertakwa (terhindar dari siksa)."
Kemudian
Al-Quran dalam surat A1-Baqarah (2): 186 menjelaskan bahwa kewajiban itu
bukannya sepanjang tahun, tetapi hanya "beberapa hari tertentu," itu
pun hanya diwajibkan bagi yang berada di kampung halaman tempat
tinggalnya, dan dalam keadaan sehat, sehingga "barangsiapa sakit atau
dalam perjalanan," maka dia (boleh) tidak berpuasa dan menghitung berapa
hari ia tidak berpuasa untuk digantikannya pada hari-hari yang lain.
"Sedang yang merasa sangat berat berpuasa, maka (sebagai gantinya) dia
harus membayar fidyah, yaitu memberi makan seorang miskin." Penjelasan
di atas ditutup dengan pernyataan bahwa "berpuasa adalah baik."
Setelah
itu disusul dengan penjelasan tentang keistimewaan bulan Ramadhan, dan
dari sini datang perintah-Nya untuk berpuasa pada bulan tersebut, tetapi
kembali diingatkan bahwa orang yang sakit dan dalam perjalanan (boleh)
tidak berpuasa dengan memberikan penegasan mengenai peraturan berpuasa
sebagaimana disebut sebelumnya. Ayat tentang kewajiban puasa Ramadhan
ditutup dengan "Allah menghendaki kemudahdn untuk kamu bukan kesulitan,"
lalu diakhiri dengan perintah bertakbir dan bersyukur. Ayat 186 tidak
berbicara tentang puasa, tetapi tentang doa. Penempatan uraian tentang
doa atau penyisipannya dalam uraian Al-Quran tentang puasa tentu
mempunyai rahasia tersendiri. Agaknya ia mengisyaratkan bahwa berdoa di
bu1an Ramadhan merupakan ibadah yang sangat dianjurkan, dan karena itu
ayat tersebut menegaskan bahwa "Allah dekat kepada hamba-hamba-Nya dan
menerima doa siapa yang berdoa."
Selanjutnya ayat 187 antara
lain menyangkut izin melakukan hubungan seks di malam Ramadhan, di
samping penjelasan tentang lamanya puasa yang harus dikerjakan, yakni
dari terbitnya fajar sampai terbenamnya matahari.
Banyak
informasi dan tuntunan yang dapat ditarik dari ayat-ayat di atas
berkaitan dengan hukum maupun tujuan puasa. Berikut akan dikemukan
sekelumit baik yang berkaitan dengan hukum maupun hikmahnya, dengan
menggarisbawahi kata atau kalimat dari ayat-ayat puasa di atas.
BEBERAPA ASPEK HUKUM BERKAITAN DENGAN PUASA
a. Faman kana minkum maridha (Siapa di antara kamu yang menderita sakit)
Maridh berarti sakit. Penyakit dalam kaitannya dengan berpuasa secara garis besar dapat dibagi dua:
1. Penderita tidak dapat berpuasa; dalam hal ini ia wajib berbuka; dan
2.
Penderita dapat berpuasa, tetapi dengan mendapat kesulitan atau
keterlambatan penyembuhan, maka ia dianjurkan tidak berpuasa.
Sebagian
ulama menyatakan bahwa penyakit apa pun yang diderita oleh seseorang,
membolehkannya untuk berbuka. Ulama besar ibnu Sirin, pernah ditemui
makan di siang hari bukan Ramadhan, dengan alasan jari telunjuknya
sakit. Betapa pun, harus dicatat, bahwa Al-Quran tidak merinci persolan
ini. Teks ayat mencakup pemahaman ibnu Sirin tersebut. Namun demikian
agaknya kita dapat berkata bahwa Allah Swt. sengaja memilih redaksi
demikian, guna menyerahkan kepada nurani manusia masing-masing untuk
menentukan sendiri apakah ia berpuasa atau tidak. Di sisi lain harus
diingat bahwa orang yang tidak berpuasa dengan alasan sakit atau dalam
perjalanan tetap harus menggantikan hari-hari ketika ia tidak berpuasa
dalam kesempatan yang lain.
b. Aw'ala safarin (atau dalam perjalanan)
Ulama-ulama
berbeda pendapat tentang bolehnya berbuka puasa bagi orang yang sedang
musafir. Perbedaan tersebut berkaitan dengan jarak perjalanan. Secara
umum dapat dikatakan bahwa jarak perjalanan tersebut sekitar 90
kilometer, tetapi ada juga yang tidak menetapkan jarak tertentu,
sehingga seberapa pun jarak yang ditempuh selama dinamai safar atau
perjalanan, maka hal itu merupakan izin untuk memperoleh kemudahan
(rukhshah).
Perbedaan lain berkaitan dengan 'illat (sebab) izin
ini. Apakah karena adanya unsur safar (perjalanan) atau unsur keletihan
akibat perjalanan. Di sini, dipermasalahkan misalnya jarak antara
Jakarta-Yogya yang ditempuh dengan pesawat kurang dari satu jam, serta
tidak meletihkan, apakah ini dapat dijadikan alasan untuk berbuka atau
meng-qashar shalat atau tidak. Ini antara lain berpulang kepada tinjauan
sebab izin ini.
Selanjutnya mereka juga memperselisihkan tujuan
perjalanan yang membolehkan berbuka (demikian juga qashar dan menjamak
shalat). Apakah perjalanan tersebut harus bertujuan dalam kerangka
ketaatan kepada Allah, misalnya perjalanan haji, silaturahmi, belajar,
atau termasuk juga perjalanan bisnis dan mubah (yang dibolehkan) seperti
wisata dan sebagainya? Agaknya alasan yang memasukkan hal-hal di atas
sebagai membolehkan berbuka, lebih kuat, kecuali jika perjalanan
tersebut untuk perbuatan maksiat, maka tentu yang bersangkutan tidak
memperoleh izin untuk berbuka dan atau menjamak shalatnya. Bagaimana
mungkin orang yang durhaka memperoleh rahmat kemudahan dari Allah Swt.?
Juga
diperselisihkan apakah yang lebih utama bagi seorang musafir, berpuasa
atau berbuka? Imam Malik dan imam Syafi'i menilai bahwa berpuasa lebih
utama dan lebih baik bagi yang mampu, tetapi sebagian besar ulama
bermazhab Maliki dan Syafi'i menilai bahwa hal ini sebaiknya diserahkan
kepada masing-masing pribadi, dalam arti apa pun pilihannya, maka itulah
yang lebih baik dan utama. Pendapat ini dikuatkan oleh sebuah riwayat
dari imam Bukhari dan Muslim melalui Anas bin Malik yang menyatakan
bahwa, "Kami berada dalam perjalanan di bulan Ramadhan, ada yang
berpuasa dan adapula yang tidak berpuasa. Nabi tidak mencela yang
berpuasa, dan tidak juga (mereka) yang tidak berpuasa."
Memang
ada juga ulama yang beranggapan bahwa berpuasa lebih baik bagi orang
yang mampu. Tetapi, sebaliknya, ada pula yang menilai bahwa berbuka
lebih baik dengan alasan, ini adalah izin Allah. Tidak baik menolak izin
dan seperti penegasan Al-Quran sendiri dalam konteks puasa, "Allah
menghendaki kemudahan untuk kamu dan tidak menghendaki kesulitan."
Bahkan
ulama-ulama Zhahiriyah dan Syi'ah mewajibkan berbuka, antara lain
berdasar firman-Nya dalam lanjutan ayat di atas, yaitu:
c. Fa 'iddatun min ayyamin ukhar (sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari lain).
Ulama
keempat mazhab Sunnah menyisipkan kalimat untuk meluruskan redaksi di
atas, sehingga terjemahannya lebih kurang berbunyi, "Barangsiapa yang
sakit atau dalam perjalanan (dan ia tidak berpuasa), maka (wajib baginya
berpuasa) sebanyak hari-hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang
lain."
Kalimat "lalu ia tidak berpuasa" adalah sisipan yang oleh
ulama perlu adanya, karena terdapat sekian banyak hadis yang
membolehkan berpuasa dalam perjalanan, sehingga kewajiban mengganti itu,
hanya ditujukan kepada para musafir dan orang yang sakit tetapi tidak
berpuasa.
Sisipan semacam ini ditolak oleh ulama Syi'ah dan
Zhahiriyah, sehingga dengan demikian --buat mereka-- menjadi wajib bagi
orang yang sakit dan dalam perjalanan untuk tidak berpuasa, dan wajib
pula menggantinya pada hari-hari yang lain seperti bunyi harfiah ayat di
atas.
Apakah membayar puasa yang ditinggalkan itu harus
berturut-turut? Ada sebuah hadis --tetapi dinilai lemah-- yang
menyatakan demikian. Tetapi ada riwayat lain melalui Aisyah r.a. yang
menginformasikan bahwa memang awalnya ada kata pada ayat puasa yang
berbunyi mutatabi'at, yang maksudnya memerintahkan penggantian (qadha')
itu harus dilakukan bersinambung tanpa sehari pun berbuka sampai
selesainya jumlah yang diwajibkan. Tetapi kata mutatabi'at dalam fa
'iddatun min ayyamin ukhar mutatabi'at yang berarti berurut atau
bersinambung itu, kemudian dihapus oleh Allah Swt. Sehingga akhirnya
ayat tersebut tanpa kata ini, sebagaimana yang tercantum dalam Mushaf
sekarang.
Meng-qadha' (mengganti) puasa, apakah harus segera,
dalam arti harus dilakukannya pada awal Syawal, ataukah dapat
ditangguhkan sampai sebelum datangnya Ramadhan berikut? Hanya segelintir
kecil ulama yang mengharuskan sesegera mungkin, namun umumnya tidak
mengharuskan ketergesaan itu, walaupun diakui bahwa semakin cepat
semakin baik. Nah, bagaimana kalau Ramadhan berikutnya sudah berlalu,
kemudian kita tidak sempat menggantinya, apakah ada kaffarat akibat
keterlambatan itu? Imam Malik, Syafi'i, dan Ahmad, berpendapat bahwa di
samping berpuasa, ia harus membayar kaffarat berupa memberi makan
seorang miskin; sedangkan imam Abu Hanifah tidak mewajibkan kaffarat
dengan alasan tidak dicakup oleh redaksi ayat di atas.
d.
Wa 'alal ladzina yuthiqunahu fidyatun tha'amu miskin (Dan wajib bagi
orang yang berat menjalankannya membayar fidyah, (yaitu): memberi makan
seorang miskin) (QS Al-Baqarah [2]: 184).
Penggalan
ayat ini diperselisihkan maknanya oleh banyak ulama tafsir. Ada yang
berpendapat bahwa pada mulanya Allah Swt. memberi alternatif bagi orang
yang wajib puasa, yakni berpuasa atau berbuka dengan membayar fidyah.
Ada juga yang berpendapat bahwa ayat ini berbicara tentang para musafir
dan orang sakit, yakni bagi kedua kelompok ini terdapat dua kemungkinan:
musafir dan orang yang merasa berat untuk berpuasa, maka ketika itu dia
harus berbuka; dan ada juga di antara mereka, yang pada hakikatnya
mampu berpuasa, tetapi enggan karena kurang sehat dan atau dalam
perjalanan, maka bagi mereka diperbolehkan untuk berbuka dengan syarat
membayar fidyah.
Pendapat-pendapat di atas tidak populer di
kalangan mayoritas ulama. Mayoritas memahami penggalan ini berbicara
tentang orang-orang tua atau orang yang mempunyai pekerjaan yang sangat
berat, sehingga puasa sangat memberatkannya, sedang ia tidak mempunyai
sumber rezeki lain kecuali pekerjaan itu. Maka dalam kondisi semacam
ini. mereka diperbolehkan untuk tidak berpuasa dengan syarat membayar
fidyah. Demikian juga halnya terhadap orang yang sakit sehingga tidak
dapat berpuasa, dan diduga tidak akan sembuh dari penyakitnya. Termasuk
juga dalam pesan penggalan ayat di atas adalah wanita-wanita hamil dan
atau menyusui. Dalam hal ini terdapat rincian sebagai berikut:
Wanita yang hamil dan menyusui wajib membayar fidyah dan mengganti puasanya di hari lain, seandainya yang mereka khawatirkan adalah janin atau anaknya yang sedang menyusui. Tetapi bila yang mereka khawatirkan diri mereka, maka mereka berbuka dan hanya wajib menggantinya di hari lain, tanpa harus membayar fidyah.
Fidyah dimaksud
adalah memberi makan fakir/miskin setiap hari selama ia tidak berpuasa.
Ada yang berpendapat sebanyak setengah sha' (gantang) atau kurang lebih
3,125 gram gandum atau kurma (makanan pokok). Ada juga yang menyatakan
satu mud yakni sekitar lima perenam liter, dan ada lagi yang
mengembalikan penentuan jumlahnya pada kebiasaan yang berlaku pada
setiap masyarakat.
e. Uhilla lakum
lailatash-shiyamir-rafatsu ila nisa'ikum (Dihalalkan kepada kamu pada
malam Ramadhan bersebadan dengan istri-istrimu) (QS Al-Baqarah [2]: 187)
Ayat ini membolehkan hubungan seks (bersebadan) di
malam hari bulan Ramadhan, dan ini berarti bahwa di siang hari Ramadhan,
hubungan seks tidak dibenarkan. Termasuk dalam pengertian hubungan seks
adalah "mengeluarkan sperma" dengan cara apa pun. Karena itu walaupun
ayat ini tak melarang ciuman, atau pelukan antar suami-istri, namun para
ulama mengingatkan bahwa hal tersebut bersifat makruh, khususnya bagi
yang tidak dapat menahan diri, karena dapat mengakibatkan keluarnya
sperma. Menurut istri Nabi, Aisyah r.a., Nabi Saw. pernah mencium
istrinya saat berpuasa. Nah, bagi yang mencium atau apa pun selain
berhubungan seks, kemudian ternyata "basah", maka puasanya batal; ia
harus menggantinya pada hari lain. Tetapi mayoritas ulama tidak
mewajibkan yang bersangkutan membayar kaffarat, kecuali jika ia
melakukan hubungan seks (di siang hari), dan kaffaratnya dalam hal ini
berdasarkan hadis Nabi adalah berpuasa dua bulan berturut-turut. Jika
tidak mampu, maka ia harus memerdekakan hamba. Jika tidak mampu juga,
maka ia harus memberi makan enam puluh orang miskin.
Bagi yang
melakukan hubungan seks di malam hari, tidak harus mandi sebelum
terbitnya fajar. Ia hanya berkewajiban mandi sebelum terbitnya matahari
--paling tidak dalam batas waktu yang memungkinkan ia shalat subuh dalam
keadaan suci pada waktunya. Demikian pendapat mayoritas ulama.
f.
Wakulu wasyrabu hatta yatabayyana lakumul khaith al-abyadhu minal
khaithil aswadi minal fajr (Makan dan minumlah sampai terang bagimu
benang putih dan benang hitam, yaitu fajar).
Ayat ini membolehkan seseorang untuk makan dan minum (juga melakukan hubungan seks) sampai terbitnya fajar.
Pada
zaman Nabi, beberapa saat sebelum fajar, Bilal mengumandangkan azan,
namun beliau mengingatkan bahwa bukan itu yang dimaksud dengan fajar
yang mengakibatkan larangan di atas. Imsak yang diadakan hanya sebagai
peringatan dan persiapan untuk tidak lagi melakukan aktivitas yang
terlarang. Namun bila dilakukan, maka dari segi hukum masih dapat
dipertanggungjawabkan selama fajar (waktu subuh belum masuk). Perlu
dingatkan, bahwa hendaknya kita jangan terlalu mengandalkan azan, karena
boleh jadi muazin mengumandangkan azannya setelah berlalu beberapa saat
dari waktu subuh. Karena itu sangat beralasan untuk menghentikan
aktivitas tersebut saat imsak.
g. Tsumma atimmush shiyama ilal lail (Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai malam).
Penggalan ayat ini datang setelah ada izin untuk makan dan minum sampai dengan datangnya fajar.
Puasa
dimulai dengan terbitnya fajar, dan berakhir dengan datangnya malam.
Persoalan yang juga diperbincangkan oleh para ulama adalah pengertian
malam. Ada yang memahami kata malam dengan tenggelamnya matahari
walaupun masih ada mega merah, dan ada juga yang memahami malam dengan
hilangnya mega merah dan menyebarnya kegelapan. Pendapat pertama
didukung oleh banyak hadis Nabi Saw., sedang pendapat kedua dikuatkan
oleh pengertian kebahasaan dari lail yang diterjemahkan "malam". Kata
lail berarti "sesuatu yang gelap" karenanya rambut yang berwarna hitam
pun dinamai lail.
Pendapat pertama sejalan juga dengan anjuran
Nabi Saw. untuk mempercepat berbuka puasa, dan memperlambat sahur
pendapat kedua sejalan dengan sikap kehatian-hatian karena khawatir
magrib sebenarnya belum masuk.
Demikian sedikit dari banyak aspek hukum yang dicakup oleh ayat-ayat yang berbicara tentang puasa Ramadhan.
TUJUAN BERPUASA
Secara
jelas Al-Quran menyatakan bahwa tujuan puasa yang hendaknya
diperjuangkan adalah untuk mencapai ketakwaan atau la'allakum tattaqun.
Dalam rangka memahami tujuan tersebut agaknya perlu digarisbawahi
beberapa penjelasan dari Nabi Saw. misalnya, "Banyak di antara orang
yang berpuasa tidak memperoleh sesuatu daripuasanya, kecuali rasa lapar
dan dahaga." Ini berarti bahwa menahan diri dari lapar dan dahaga bukan
tujuan utama dari puasa. Ini dikuatkan pula dengan firman-Nya bahwa
"Allah menghendaki untuk kamu kemudahan bukan kesulitan."
Di
sisi lain, dalam sebuah hadis qudsi, Allah berfirman, "Semua amal
putra-putri Adam untuk dirinya, kecuali puasa. Puasa adalah untuk-Ku dan
Aku yang memberi ganjaran atasnya."
Ini berarti pula bahwa
puasa merupakan satu ibadah yang unik. Tentu saja banyak segi keunikan
puasa yang dapat dikemukakan, misalnya bahwa puasa merupakan rahasia
antara Allah dan pelakunya sendiri. Bukankah manusia yang berpuasa dapat
bersembunyi untuk minum dan makan? Bukankah sebagai insan, siapa pun
yang berpuasa, memiliki keinginan untuk makan atau minum pada saat-saat
tertentu dari siang hari puasa? Nah, kalau demikian, apa motivasinya
menahan diri dan keinginan itu? Tentu bukan karena takut atau segan dari
manusia, sebab jika demikian, dia dapat saja bersembunyi dari pandangan
mereka. Di sini disimpulkan bahwa orang yang berpuasa, melakukannya
demi karena Allah Swt. Demikian antara lain penjelasan sementara ulama
tentang keunikan puasa dan makna hadis qudsi di atas.
Sementara
pakar ada yang menegaskan bahwa puasa dilakukan manusia dengan berbagai
motif, misalnya, protes, turut belasungkawa, penyucian diri, kesehatan,
dan sebagai-nya. Tetapi seorang yang berpuasa Ramadhan dengan benar,
sesuai dengan cara yang dituntut oleh Al-Quran, maka pastilah ia akan
melakukannya karena Allah semata.
Di sini Anda boleh bertanya,
"Bagaimana puasa yang demikian dapat mengantarkan manusia kepada takwa?"
Untuk menjawabnya terlebih dahulu harus diketahui apa yang dimaksud
dengan takwa.
PUASA DAN TAKWA
Takwa
terambil dari akar kata yang bermakna menghindar, menjauhi, atau menjaga
diri. Kalimat perintah ittaqullah secara harfiah berarti, "Hindarilah,
jauhilah, atau jagalah dirimu dari Allah"
Makna ini tidak lurus
bahkan mustahil dapat dilakukan makhluk. Bagaimana mungkin makhluk
menghindarkan diri dari Allah atau menjauhi-Nya, sedangkan "Dia (Allah)
bersama kamu di mana pun kamu berada." Karena itu perlu disisipkan kata
atau kalimat untuk meluruskan maknanya. Misalnya kata siksa atau yang
semakna dengannya, sehingga perintah bertakwa mengandung arti perintah
untuk menghindarkan diri dari siksa Allah.
Sebagaimana kita ketahui, siksa Allah ada dua macam.
1.
Siksa di dunia akibat pelanggaran terhadap hukum-hukum Tuhan yang
ditetapkan-Nya berlaku di alam raya ini, seperti misalnya, "Makan
berlebihan dapat menimbulkan penyakit," "Tidak mengendalikan diri dapat
menjerumuskan kepada bencana", atau "Api panas, dan membakar", dan
hukum-hukum alam dan masyarakat lainnya.
2. Siksa di akhirat,
akibat pelanggaran terhadap hukum syariat, seperti tidak shalat, puasa,
mencuri, melanggar hak-hak manusia, dan 1ain-lain yang dapat
mengakibatkan siksa neraka.
Syaikh Muhammad Abduh menulis,
"Menghindari siksa atau hukuman Allah, diperoleh dengan jalan
menghindarkan diri dari segala yang dilarangnya serta mengikuti apa yang
diperintahkan-Nya. Hal ini dapat terwujud dengan rasa takut dari
siksaan dan atau takut dari yang menyiksa (Allah Swt ). Rasa takut ini,
pada mulanya timbul karena adanya siksaan, tetapi seharusnya ia timbul
karena adanya Allah Swt. (yang menyiksa)."
Dengan demikian yang
bertakwa adalah orang yang merasakan kehadiran Allah Swt. setiap saat,
"bagaikan melihat-Nya atau kalau yang demikian tidak mampu dicapainya,
maka paling tidak, menyadari bahwa Allah melihatnya," sebagaimana bunyi
sebuah hadis.
Tentu banyak cara yang dapat dilakukan untuk
mencapai hal tersebut, antara 1ain dengan jalan berpuasa. Puasa seperti
yang dikemukakan di atas adalah satu ibadah yang unik. Keunikannya
antara lain karena ia merupakan upaya manusia meneladani Allah Swt.
PUASA MENELADANI SIFAT-SIFAT ALLAH
Beragama
menurut sementara pakar adalah upaya manusia meneladani sifat-sifat
Allah, sesuai dengan kedudukan manusia sebagai makhluk. Nabi Saw.
memerintahkan, "Takhallaqu bi akhlaq Allah" (Berakhlaklah (teladanilah) sifat-sifat Allah).
Di
sisi lain, manusia mempunyai kebutuhan beraneka ragam, dan yang
terpenting adalah kebutuhan fa'ali, yaitu makan, minum, dan hubungan
seks. Allah Swt. memperkenalkan diri-Nya antara lain sebagai tidak
mempunyai anak atau istri:
Bagaimana Dia memiliki anak, padahal Dia tidak memiliki istri? (QS Al-An'am [6]: 101)
Dan sesungguhnya Mahatinggi kebesaran Tuhan kami. Dia tidak beristri dan tidak pula beranak (QS Al-Jin [72]: 3).
Al-Quran juga memerintahkan Nabi Saw. untuk menyampaikan,
Apakah aku jadikan pelindung selain Allah yang menjadikan langit dan bumi padahal Dia memberi makan dan tidak diberi makan...? (QS Al-An'am [6]: 14).
Dengan berpuasa, manusia berupaya
dalam tahap awal dan minimal mencontohi sifat-sifat tersebut. Tidak
makan dan tidak minum, bahkan memberi makan orang lain (ketika berbuka
puasa), dan tidak pula berhubungan seks, walaupun pasangan ada.
Tentu
saja sifat-sifat Allah tidak terbatas pada ketiga hal itu, tetapi
mencakup paling tidak sembilan puluh sembilan sifat yang kesemuanya
harus diupayakan untuk diteladani sesuai dengan kemampuan dan kedudukan
manusia sebagai makhluk ilahi. Misalnya Maha Pengasih dan Penyayang,
Mahadamai, Mahakuat, Maha Mengetahui, dan lain-lain. Upaya peneladanan
ini dapat mengantarkan manusia menghadirkan Tuhan dalam kesadarannya,
dan bila hal itu berhasil dilakukan, maka takwa dalam pengertian di atas
dapat pula dicapai.
Karena itu, nilai puasa ditentukan oleh
kadar pencapaian kesadaran tersebut --bukan pada sisi lapar dan dahaga--
sehingga dari sini dapat dimengerti mengapa Nabi Saw. menyatakan bahwa,
"Banyak orang yang berpuasa, tetapi tidak memperoleh dari puasanya
kecuali rasa lapar dan dahaga."
PUASA UMAT TERDAHULU
Puasa
telah dilakukan oleh umat-umat terdahulu. Kama kutiba 'alal ladzina min
qablikum (Sebagaimana diwajibkan atas (umat-umat) yang sebelum kamu).
Dari segi ajaran agama, para ulama menyatakan bahwa semua agama samawi,
sama dalam prinsip-prinsip pokok akidah, syariat, serta akhlaknya. Ini
berarti bahwa semua agama samawi mengajarkan keesaan Allah, kenabian,
dan keniscayaan hari kemudian. Shalat, puasa, zakat, dan berkunjung ke
tempat tertentu sebagai pendekatan kepada Allah adalah prinsip-prinsip
syariat yang dikenal dalam agama-agama samawi. Tentu saja cara dan
kaifiatnya dapat berbeda, namun esensi dan tujuannya sama.
Kita dapat mempertanyakan mengapa puasa menjadi kewajiban bagi umat islam dan umat-umat terdahulu?
Manusia
memiliki kebebasan bertindak memilih dan memilah aktivitasnya, termasuk
dalam hal ini, makan, minum, dan berhubungan seks. Binatang --khususnya
binatang-binatang tertentu-- tidak demikian. Nalurinya telah mengatur
ketiga kebutuhan pokok itu, sehingga --misalnya-- ada waktu atau musim
berhubungan seks bagi mereka. Itulah hikmah Ilahi demi memelihara
kelangsungan hidup binatang yang bersangkutan, dan atau menghindarkannya
dari kebinasaan.
Manusia sekali lagi tidak demikian. Kebebasan
yang dimilikinya bila tidak terkendalikan dapat menghambat pelaksanaan
fungsi dan peranan yang harus diembannya. Kenyataan menunjukkan bahwa
orang-orang yang memenuhi syahwat perutnya melebihi kadar yang
diperlukan, bukan saja menjadikannya tidak lagi menikmati makanan atau
minuman itu, tetapi juga menyita aktivitas lainnya kalau enggan berkata
menjadikannya lesu sepanjang hari.
Syahwat seksual juga
demikian. Semakin dipenuhi semakin haus bagaikan penyakit eksim semakin
digaruk semakin nyaman dan menuntut, tetapi tanpa disadari menimbulkan
borok.
Potensi dan daya manusia --betapa pun besarnya-- memiliki
keterbatasan, sehingga apabila aktivitasnya telah digunakan secara
berlebihan ke arah tertentu --arah pemenuhan kebutuhan faali misalnya--
maka arah yang lain, --mental spiritual-- akan terabaikan. Nah, di
sinilah diperlukannya pengendalian. Sebagaimana disinggung di atas,
esensi puasa adalah menahan atau mengendalikan diri. Pengendalian ini
diperlukan oleh manusia, baik secara individu maupun kelompok. Latihan
dan pengendalian diri itulah esensi puasa.
Puasa dengan demikian
dibutuhkan oleh semua manusia, kaya atau miskin, pandai atau bodoh,
untuk kepentingan pribadi atau masyarakat. Tidak heran jika puasa telah
dikenal oleh umat-umat sebelum umat Islam, sebagaimana diinformasikan
oleh Al-Quran.
Dari penjelasan ini, kita dapat melangkah untuk
menemukan salah satu jawaban tentang rahasia pemilihan bentuk redaksi
pasif dalam menetapkan kewajiban puasa. Kutiba 'alaikumush shiyama
(diwajibkan atas kamu puasa), tidak menyebut siapa yang mewajibkannya?
Bisa
saja dikatakan bahwa pemilihan bentuk redaksi tersebut disebabkan
karena yang mewajibkannya sedemikian jelas dalam hal ini adalah Allah
Swt. Tetapi boleh jadi juga untuk mengisyaratkan bahwa seandainya pun
bukan Allah yang mewajibkan puasa, maka manusia yang menyadari manfaat
puasa, dan akan mewajibkannya atas dirinya sendiri. Terbukti motivasi
berpuasa (tidak makan atau mengendalikan diri) yang selama ini dilakukan
manusia, bukan semata-mata atas dorongan ajaran agama. Misalnya demi
kesehatan, atau kecantikan tubuh, dan bukankah pula kepentingan
pengendalian diri disadari oleh setiap makhluk yang berakal?
Di sisi lain bukankah Nabi Saw. bersabda, "Seandainya
umatku mengetahui ( semua keistimewaan ) yang dikandung oleh Ramadhan,
niscaya mereka mengharap seluruh bulan menjadi Ramadhan."
KEISTIMEWAAN BULAN RAMADHAN
Dalam
rangkaian ayat-ayat yang berbicara tentang puasa, Allah menjelaskan
bahwa Al-Quran diturunkan pada bulan Ramadhan. Dan pada ayat lain
dinyatakannya bahwa Al-Quran turun pada malam Qadar, Sesungguhnya Kami
telah menurunkannya (Al-Quran) pada Lailat Al-Qadr.
Ini berarti
bahwa di bulan Ramadhan terdapat malam Qadar itu, yang menurut Al-Quran
lebih baik dari seribu bulan. Para malaikat dan Ruh (Jibril) silih
berganti turun seizin Tuhan, dan kedamaian akan terasa hingga terbitnya
fajar.
Di sisi lain --sebagaimana disinggung pada awal uraian--
bahwa dalam rangkaian ayat-ayat puasa Ramadhan, disisipkan ayat yang
mengandung pesan tentang kedekatan Allah Swt. kepada hamba-hamba-Nya
serta janji-Nya untuk mengabulkan doa --siapa pun yang dengan tulus
berdoa.
Dari hadis-hadis Nabi diperoleh pula penjelasan tentang
keistimewaan bulan suci ini. Namun seandainya tidak ada keistimewaan
bagi Ramadhan kecuali Lailat Al-Qadr, maka hal itu pada hakikatnya telah
cukup untuk membahagiakan manusia.
http://www.dzikir.org
Komentar
Posting Komentar