Oleh : H. E. Nadzier Wiriadinata
Lembaga Pendidikan Islam yang dikenal dengan nama Madrasah Diniyah,
yang berdasarkan PP 55 tahun 2007 kemudian berubah nama menjadi Diniyah
Takmiliyah (DT), telah lama diselenggarakan di Indonesia. Lembaga
pendidikan ini telah ada bersamaan dengan penyebaran agama Islam di
Indonesia. Dimasa pemerintahan Hindia Belanda, hampir disemua desa di
Indonesia yang penduduknya mayoritas Islam terdapat madrasahdengan
berbagai nama atau bentuk seperti ³Pengajian Anak-anak, Sekolah Kitab,
Sekolah Agama´ dan lain-lain.
Ada dua hal penting yang harus diprioritaskan dalam dunia pendidikan
dilingkungan Diniyah saat ini, yaitu penataan kurikulum dan optimalisasi
peran guru dalam proses pembelajaran. Hal ini bukan berarti bahwa aspek
lain ( seperti sarana prasarana, dan yang lainnya ) tidak penting.
Hanya, menurut hemat penulis, fokus terhadap penataan kurikulum dan
optimalisasi peran guru dalam proses pembelajaran adalah langkah
rasional yang bisa kita lakukan dan mendesak untuk dikedepankan dalam
rangka meningkatkan kualitas pendidikan DT, sementara yang lainnya bisa
dibenahi sambil jalan.
Kurikulum Diniyah Takmiliyah
BSNP (2006) mendefinisikan kurikulum sebagai seperangkat rencana dan
pengaturan mengenai tujuan, isi dan bahan pelajaran serta cara yang
digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk
mencapai tujuan pendidikan tertentu.
Kurikulum merupakan salah satu komponen penting dalam sistem
pendidikan. Seperti kita ketahui, kurikulum memiliki 3 fungsi : (1)
disamping sebagai pedoman penyelenggaraan pendidikan pada lembaga
Diniyah Takmiliyah dan untuk memungkinkan pencapaian tujuan pendidikan
Diniyah Takmiliyah tersebut, (2) juga bisa sebagai batasan dari suatu
program kegiatan (bahan pengajaran) yang akan dijalankan pada suatu
semester, kelas, maupun pada tingkat/jenjang pendidikan tertentu. (3)
dan sebagai pedoman kyai/ustadz dalam menyelenggarakan proses belajar
mengajar, sehingga kegiatan yang dilakukan Kyai/ustadz dan santri
terarah pada tujuan yang telah ditentukan.
Alhamdulillah, Pemerintah, dalam hal ini Kementerian Agama RI, telah
menyusun dan menetapkan kurikulum Diniyah Takmiliyah sesuai dengan
jenjangnya. Bahkan beberapa waktu yang lalu, Kementerian Agama Provinsi
Jawa Barat bekerja sama dengan FKDT ( Forum Komunikasi Diniyah
Takmiliyah ) telah melakukan kajian terhadap kurikulum tersebut dan
kemudian melakukan beberapa pengembangan tertentu yang disesuaikan
dengan kebutuhan riil dilapangan. Dalam waktu dekat kurikulum tersebut
insyaallah akan disebarkan keseluruh Diniyah Takmiliyah se Jawa barat.
Langkah berikutnya adalah standarisasi kurikulum. Standarisasi
kurikulum adalah hal yang sangat mendesak dan rasional untuk segera
diterapkan pada Diniyah Takmiliyah di wilayah Provinsi Jawa Barat karena
sangat bersentuhan langsung dengan kepentingan santri dan Diniyah
Takmiliyah itu sendiri sebagai bagian upaya peningkatan kualitas
pendidikan, relevansi serta daya saing Diniyah Takmiliyah. Disamping
juga tuntutan dari Peraturan Pemerintah Nomor 19 tahun 2005 tentang
Standar Nasional Pendidikan. Mengingat pentingnya aspek kurikulum ini,
maka sudah saatnya para pimpinan Diniyah Takmiliyah lebih memusatkan
perhatian pada upaya pembenahan aspek vital tersebut.
Optimalisasi Peran Guru
Kurikulum seperti diungkapkan di atas memang memiliki fungsi
strategis dalam pendidikan. Namun demikian, bukan satu-satunya perangkat
tunggal penjabaran strategi pendidikan. Fungsi kurikulum dalam
peningkatan mutu pendidikan bagaimanapun sangat tergantung dari
kecakapan guru.
Guru pada Diniyah Takmiliyah dalam banyak hal tentunya sangat berbeda
dengan guru- guru mata pelajaran umum yang ada pada sekolah-sekolah
formal, non formal, maupun lembaga-lembaga kursus umum lainnya. Namun
sayangnya, kita kurang menyadari perbedaan tersebut, bahkan termasuk
sang guru pada Diniyah Takmiliyah itu sendiri. Ironisnya, guru-guru pada
Diniyah Takmiliyah seringkali memposisikan diri mereka seperti halnya
guru-guru mata pelajaran umum dalam proses pembelajarannya. Akibatnya,
fondasi moralitas yang dibangun menjadi rapuh dan tidak cukup kuat untuk
membentengi peserta didik dari berbagai perilaku negatif karena peserta
didik hanya dicekoki dengan hafalanhafalan materi pelajaran agama.
Parahnya lagi, Guru-guru mata pelajaran agama pada sekolah-sekolah umum
pun menerapkan proses pembelajaran yang sama sekali tidak jauh berbeda
dengan guru-guru mata pelajaran umum yang secara kaku terikat dengan
target- target kurikulum baku, sehingga lengkaplah sudah kegagalan
pendidikan agama dan pendidikan keagamaan dalam membangun moralitas
bangsa.
Untuk tidak terjebak kembali pada kegagalan yang sama , maka
guru-guru pada Diniyah Takmiliyah dan juga guru-guru agama pada sekolah
umum hendaknya melakukan reintrospeksi dan re-orientasi terhadap fungsi
dan peran mereka. Hendaknya mereka menyadari bahwa peran mereka begitu
mulia, yaitu sebagai Sang pencerah Jiwa.
Ada beberapa hal yang harus diperhatikan oleh seorang guru mata
pelajaran agama dan juga guru-guru pada Diniyah Takmiliyah apabila ingin
berhasil dalam menjalankan perannya selaku Sang Pencerah :
- Mata pelajaran agama bukanlah mata pelajaran umum. Mata pelajaran agama harusnya dipandang sebagai kumpulan pesan-pesan Ilahiah yang akan disampaikan kepada peserta didik.
- Kumpulan pesan-pesan Ilahiah hanya mungkin bisa ditangkap secara optimal oleh peserta didik apabila guru memberdayakan potensi otak dan potensi qolb yang ada pada mereka. Harus diingat bahwa potensi qolb inilah yang sebenarnya lebih berperan saat penanaman nilai-nilai Ilahiah berproses dalam jiwa peserta didik.
- Mengingat bahwa pesan-pesan Ilahiah ini sifatnya suci karena berasal dari Yang Maha Suci, maka dalam proses pembelajarannya dibutuhkan upaya-upaya pengkondisian tertentu, diantaranya : a. Dibangun suasana khidmat didalam ruangan kelas ; b. Guru hendaknya mampu membangun suasana hati yang terbebas dari dominasi perasaan- perasaan negatif saat di ruangan kelas; c. Guru hendaknya terus berupaya membangun kesadaran dalam hatinya bahwa Allah hadir dan mengamati apapun yang dia sampaikan kepada peserta didik; d. Guru senantiasa berupaya membangun suasana ikhlas saat proses pembelajaran berlangsung;
- Menjadikan doa sebagai bagian yang tak terpisahkan dari aktivitas sang guru dalam upaya mengoptimalkan proses pencerahan jiwa peserta didik
- Memberikan tauladan yang baik bagi peserta didik
- Tidak terikat secara membabi buta dengan target-target kurikulum yang telah ditetapkan
- Evaluasi hendaknya tidak terfokus pada aspek kognitif saja, melainkan juga aspek afektif dan psikomotorik. Dalam prakteknya, di sekolah-sekolah umum, ranah kognitiflah yang paling banyak dinilai oleh para guru disekolah karena berkaitan dengan kemampuan para siswa dalam menguasai isi bahan pengajaran. Namun, untuk materi pelajaran agama, baik di sekolah umum maupun Diniyah Takmiliyah, aspek afektif dan psikomotorik adalah sesuatu yang tidak boleh diabaikan, bahkan harus menjadi pokok perhatian kita juga karena hal itu amat berkaitan dengan kualitas keberagamaan peserta didik kedepan.
Ketika point-point diatas bisa diaplikasikan dengan baik pada saat
proses pembelajaran berlangsung, maka insyaallah fondasi moralitas dapat
dibangun dengan kokoh pada jiwa peserta didik, sehingga kelak bisa
dibanggakan sebagai generasi pelanjut yang tangguh. Aamiin ya Robbal
alamin
Komentar
Posting Komentar