Oleh: Ina Salma Febriani
Ramadhan telah pergi meninggalkan kita. Syawal pun hadir dan seluruh
umat Islam menyambutnya dengan sukacita. Kesukacitaan itu juga menuai
kesedihan yang tampak nyata, melalui tradisi salam-salaman, mohon maaf
kepada sesama, hingga nuansa haru biru mewarnai jutaan umat Muslim
dunia.
Itulah jejak indah selepas Ramadhan, disadari maupun
tidak, manusia berusaha membuka diri untuk saling introspeksi dan
bersedia meminta juga memberi maaf.
Ramadhan dan Syawal bagai dua
sisi mata uang. Jika dalam bulan Ramadhan, Allah menghendaki kita untuk
melatih jasmani dan rohani melalui puasa, maka di bulan Syawal inilah
kita dikehendaki oleh Allah untuk membesarkannya.
Perintah untuk
membesarkan asma Allah ini tertuang dalam Quran Surah Al-Baqarah ayat
185, “.... dan agar kalian menyempurnakan hitungan (bilangan) hari puasa
dan agar kalian mengagungkan (memuji) Allah atas apa yang Dia telah
tunjukkan kepada kaliannn dan agar kalian dapat bersyukur.”
Pengagungan
asma Allah melalui gemuruh takbir sudah terdengar tepat setelah
diresmikannya Idul Fitri tahun ini jatuh pada Ahad, 19 Agustus. Sesaat
itu pula umat Muslim dari berbagai penjuru mengumandangkan lafadz yang
sama dengan kebahagiaan dan perayaan yang berbeda-beda di tiap sudut
ibukota.
Namun, kebesaran Tuhan tidak cukup hanya ramai
dilafadzkan saat malam takbiran dan Idul Fitri. Lebih dari itu, memaknai
takbir juga harus disertakan dengan niat sungguh dalam hati dan
menyadari betul bahwa hanya Allah saja yang Mahabesar dan selalu
melibatkan Allah dalam segala perkara duniawi.
Makna takbir yang
sesungguhnya juga melahirkan rasa syukur. Syukur dalam perspektif luas
yang dikategorikan menjadi dua, kepada Khalik juga pada makhluk. Syukur
kepada Khalik adalah syukur yang dilafadzkan melalui lisan
(Alhamdulillahi Rabbil alamin)—dalam segala kondisi.
Atau dalam
suatu riwayat, jika kita mendapatkan hal yang kurang kita sukai, maka
kita tetap harus memuji Allah dengan lafadz “Alhamdulillah ala kulli
haal”. Syukur dengan lafadz akhirnya disertai oleh niat dalam hati untuk
memanifestasikan syukur itu agar tidak berbuat dosa (maksiat) pada-Nya.
Sedangkan
syukur kepada makhluk, diaplikasikan dengan kemurahan hati untuk
berbagi dengan sesama. Baik berbagi hal-hal yang bersifat materi maupun
nonmateri. Bagi orang yang memiliki kelebihan harta, maka dalam hartanya
tersebut tersimpan hak-hak orang miskin yang meminta-minta, maupun
miskin yag tidak meminta (Lis saaili wal mahruum).
Itulah
sebabnya mengapa Ramadhan ditutup dengan pemberian zakat fitrah, sebab
ada nilai sosial dalam tiap ibadah yang Allah perintahkan untuk segenap
hamba-Nya. Dan, bagi orang yang diberi kelebihan non materi (ilmu),
selayaknya mengamalkan ilmu tersebut agar oranglain dapat bertambah
ilmunya dan si pengajar bertambah keihlasan dan pahalanya.
Sendi-sendi
ibadah yang Allah perintahkan dalam Quran, selalu mengandung
nilai-nilai sosial. Dalam Quran, Allah selalu merangkai zakat, seusai
lafadz shalat (Wa aqiimush shaalah wa aatuz zakaah), tujuannya jelas,
agar kita tidak hanya menyibukkan diri bersama-Nya, namun juga bersama
makhluk sekeliling yang Allah ciptakan untuk kelangsungan hidup kita.
Dan
akhirnya, takbir yang melahirkan tasyakur itu bertujuan untuk membuang
jauh-jauh sifat takabur. Takabur dalam arti sempit bahwa jangan sampai
selepas bertakbir, membesarkan Allah, justru hati ini berpaling untuk
membesarkan hal-hal lain selain Allah, baik itu harta, tahta, jiwa, atau
bahkan hawa nafsu buruk. Na’udzubillah. Wallahua’lam.

Komentar
Posting Komentar