Oleh: Al-Ustadzah Ummu ‘Abdirrahman Bintu ‘Imran
Usia kanak-kanak adalah masa keemasan dalam kehidupan seseorang. Segala yang dipelajari dan dialami pada masa ini –dengan izin Allah Subhanahu wa Ta’ala– akan membekas kelak di masa dewasa.
Usia kanak-kanak adalah masa keemasan dalam kehidupan seseorang. Segala yang dipelajari dan dialami pada masa ini –dengan izin Allah Subhanahu wa Ta’ala– akan membekas kelak di masa dewasa.
Tak heran bila di kalangan pendahulu kita yang shalih banyak kita
dapati tokoh-tokoh besar yang kokoh ilmunya, bahkan dalam usia mereka
yang masih relatif muda. Dari kalangan sahabat, ada ‘Abdullah bin ‘Umar,
‘Abdullah bin ‘Abbas, ‘Abdullah bin Mas’ud, Mu’adz bin Jabal, Anas bin
Malik radhiyallahu ‘anhum, dan banyak lagi. Kalangan setelah mereka, ada
Sufyan Ats-Tsauri, Al-Imam Malik, Al-Imam Asy-Syafi’i, dan Al-Imam
An-Nawawi rahimahumullah.
Demikian yang diungkapkan oleh ‘Alqamah rahimahullahu:
مَا حَفِظْتُ وَأَنَا شَابٌّ فَكَأَنِّي أَنْظُرُ إِلَيْهِ فِي قِرْطَاسٍ أَوْ وَرَقَةٍ
“Segala sesuatu yang kuhafal ketika aku masih belia, maka sekarang
seakan-akan aku melihatnya di atas kertas atau lembaran catatan.” (Jami’
Bayanil ‘Ilmi wa Fadhlihi, 1/304)
Bahkan ayah ibu mereka berperan dalam mengarahkan dan membiasakan
anak-anak untuk menyibukkan diri dengan ilmu agama sejak dini dan
menghasung mereka untuk mempelajari adab.
Muhammad bin Sirin rahimahullahu mengatakan:
كَانُوا يَقُوْلُوْنَ: أَكْرِمْ وَلَدَكَ وَأَحْسِنْ أَدَبَهُ
“(Para pendahulu kita) mengatakan: ‘Muliakanlah anakmu dan perbaikilah adabnya!’.” (Jami’ Bayanil ‘Ilmi wa Fadhlihi, 1/308)
Senada dengan ini, Ibnul Anbari rahimahullahu mengatakan pula:
مَنْ أَدَّبَ ابْنَهُ صَغِيْرًا قَرَّتْ عَيْنُهُ كَبِيْرًا
“Barangsiapa mengajari anaknya adab semasa kecil, maka akan
menyejukkan pandangannya ketika si anak telah dewasa.” (Jami’ Bayanil
‘Ilmi wa Fadhlihi, 1/306)
Dari kalangan sahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, ‘Umar
ibnul Khaththab radhiyallahu ‘anhu contohnya. Beliau selalu menyertakan
putranya, ‘Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma di majelis
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, sementara orang-orang yang
duduk di sana adalah orang-orang dewasa. Bahkan betapa inginnya ‘Umar
agar putranya menjadi seorang yang terkemuka di antara para sahabat yang
hadir di situ dari sisi ilmu. ‘Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma
menceritakan:
كُنَّا عِنْدَ رَسُوْلِ اللهِ صلى الله عليه وسلم فَقَالَ: أَخْبِرْنِي
بِشَجَرَةٍ تُشْبِهُ أَوْ كَالرَّجُلِ الْمُسْلِمِ لاَ يَتَحَاتُّ
وَرَقُهَا وَلاَ وَلاَ وَلاَ، تُؤْتِي أُكُلَهَا كُلَّ حِيْنٍ. قَالَ ابْنُ
عُمَرَ: فَوَقَعَ فِي نَفْسِي أَنَّهَا النَّخْلَةُ وَرَأَيْتُ أَبَا
بَكْرٍ وَعُمَرَ لاَ يَتَكَلَّمَانِ، فَكَرِهْتُ أَنْ أَتَكَلَّمَ.
فَلَمَّا لَمْ يَقُوْلُوْا شَيْئًا قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه
وسلم: هِيَ النَّخْلَةُ. فَلَمَّا قُمْنَا قُلْتُ لِعُمَرَ: يَا أَبَتَاه،
وَاللهِ لَقَدْ كَانَ وَقَعَ فِي نَفْسِي أَنَّهَا النَّخْلَةُ. فَقَالَ:
مَا مَنَعَكَ أَنْ تَكَلَّمَ؟ قَالَ: لَمْ أَرَكُمْ تَكَلَّمُوْنَ
فَكَرِهْتُ أَنْ أَتَكَلَّمَ أَوْ أَقُوْلَ شَيْئًا. قَالَ عُمَرَ: لَأَنْ
تَكُوْنَ قُلْتَهَا أَحَبُّ إِلَيَّ مِنْ كَذَا وَكَذَا.
“Dulu kami pernah duduk di sisi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam, lalu beliau bertanya pada kami, ‘Beritahukan kepadaku tentang
sebatang pohon yang menyerupai atau seperti seorang muslim, tidak pernah
gugur daunnya, tidak demikian dan demikian, selalu berbuah sepanjang
waktu.’ Waktu itu terbetik dalam benakku bahwa pohon itu adalah pohon
kurma, tapi kulihat Abu Bakr dan ‘Umar tidak menjawab apa pun sehingga
aku pun merasa segan untuk menjawabnya. Tatkala para sahabat tidak juga
mengatakan apa pun, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Itu pohon kurma.” Ketika kami bubar, kukatakan kepada (ayahku) ‘Umar,
“Wahai Ayah, sebetulnya tadi terlintas di benakku bahwa itu pohon
kurma.”“Lalu apa yang membuatmu tidak menjawab?” tanya ayahku. “Aku
melihat anda semua tidak berbicara, hingga aku merasa segan pula untuk
menjawab atau mengatakan sesuatu,” jawab Ibnu ‘Umar. ‘Umar pun berkata,
“Sungguh, kalau tadi engkau menjawab, itu lebih kusukai daripada aku
memiliki ini dan itu!” (HR. Al-Bukhari no. 4698)
Lihat pula Ummu Sulaim radhiyallahu ‘anha yang menghasung putranya,
Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu untuk selalu melayani Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam di usia kanak-kanaknya. Ummu Sulaim
radhiyallahu ‘anha mengantarkan anaknya memperoleh faedah besar berupa
ilmu dan pendidikan dari beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Anas bin
Malik radhiyallahu ‘anhu menuturkan, “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam tiba di Madinah ketika aku berumur delapan tahun. Maka ibuku pun
menggandengku dan membawaku menghadap beliau. Ibuku mengatakan pada
beliau, “Wahai Rasulullah, tak seorang pun yang tersisa dari kalangan
orang-orang Anshar, baik laki-laki maupun perempuan, kecuali telah
memberikan sesuatu padamu. Sementara aku tidak mampu memberikan apa-apa
kepadamu, kecuali putraku ini. Ambillah agar dia bisa membantu melayani
keperluanmu.” Maka aku pun melayani beliau selama sepuluh tahun. Tak
pernah beliau memukulku, tak pernah mencelaku maupun bermuka masam
kepadaku.” (Siyar A’lamin Nubala’, 3/398)
Begitu pula ‘Abdullah bin ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, sepupu
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Baru belasan tahun umurnya
ketika Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam wafat, sementara sebelum
itu dia banyak mengambil faedah ilmu dari Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam serta mendapatkan doa beliau. ‘Abdullah bin ‘Abbas
radhiyallahu ‘anhuma mengungkapkan, bagaimana inginnya dia mendapatkan
ilmu dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
رَقَدْتُ فِي بَيْتِ مَيْمُوْنَةَ لَيْلَةَ كَانَ النَّبِيُّ صلى الله
عليه وسلم عِنْدَهَا لِأَنْظُرَ كَيْفَ صَلاَةَ النَّبِيِّ صلى الله عليه
وسلم بِاللَّيْلِ
“Aku pernah tidur di rumah Maimunah1 pada malam ketika Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bermalam di sana untuk melihat bagaimana
shalat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam di waktu malam.” (HR.
Al-Bukhari no. 698 dan Muslim no. 763)
Setelah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam wafat, semangat Ibnu
‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma untuk mencari ilmu tidaklah surut.
Didatanginya para sahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang
ada pada saat itu untuk mendengarkan hadits dari mereka. Ibnu ‘Abbas
radhiyallahu ‘anhuma menceritakan tentang hal ini:
“Ketika Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam wafat dan waktu itu
aku masih belia, aku berkata kepada salah seorang pemuda dari kalangan
Anshar, ‘Wahai Fulan, mari kita bertanya pada para sahabat Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan belajar dari mereka, mumpung mereka
sekarang masih banyak!’ Dia menjawab, ‘Mengherankan sekali kau ini,
wahai Ibnu ‘Abbas! Apa kau anggap orang-orang butuh kepadamu sementara
di dunia ini ada tokoh-tokoh para sahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wa sallam sebagaimana yang kaulihat?’ Aku pun meninggalkannya. Aku pun
mulai bertanya dan menemui para sahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wa sallam. Suatu ketika, aku mendatangi seorang sahabat untuk bertanya
tentang suatu hadits yang kudengar bahwa dia mendengarnya dari
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ternyata dia sedang tidur
siang. Aku pun rebahan berbantalkan selendangku di depan pintunya, dalam
keadaan angin menerbangkan debu ke wajahku. Begitu keadaanku sampai dia
keluar. ‘Wahai putra paman Rasulullah, kenapa engkau ini?’ tanyanya
ketika dia keluar. ‘Aku ingin mendapatkan hadits yang kudengar engkau
menyampaikan hadits itu dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Aku ingin mendengar hadits itu darimu,’ jawabku. ‘Mengapa tidak kau utus
saja seseorang kepadaku agar nantinya aku yang mendatangimu?’ katanya.
‘Aku lebih berhak untuk datang kepadamu,’ jawabku. Setelah itu, ketika
para sahabat telah banyak yang meninggal, orang tadi (dari kalangan
Anshar tersebut, red.) melihatku dalam keadaan orang-orang
membutuhkanku. Dia pun berkata padaku, ‘Engkau memang lebih berakal
daripadaku’.” (Jami’ Bayanil ‘Ilmi wa Fadhlihi, 1/310)
Dari kalangan setelah tabi’in, kita kenal Al-Imam Sufyan Ats-Tsauri
rahimahullahu. Salah satu hal yang mendorong Sufyan Ats-Tsauri sibuk
menuntut ilmu sejak usia dini adalah hasungan, dorongan, dan arahan
ibunya agar Sufyan mengambil faedah dari para ulama, baik berupa ilmu
maupun faedah yang didapatkan dengan duduk bersama mereka, hingga ilmu
yang diperolehnya akan memiliki pengaruh terhadap akhlak, adab, dan
muamalahnya terhadap orang lain.
Ketika menyuruh putranya untuk hadir di halaqah-halaqah ilmu maupun
majelis-majelis para ulama, ibunda Sufyan Ats-Tsauri berpesan, “Wahai
anakku, ini ada uang sepuluh dirham. Ambillah dan pelajarilah sepuluh
hadits! Apabila kaudapati hadits itu dapat merubah cara dudukmu,
perilakumu, dan ucapanmu terhadap orang lain, ambillah. Aku akan
membantumu dengan alat tenunku ini! Tapi jika tidak, maka tinggalkan,
karena aku takut nanti hanya akan menjadi musibah bagimu di hari
kiamat!” (Waratsatul Anbiya’, hal.36-37)
Begitu pula ibu Al-Imam Malik rahimahullahu, dia memerhatikan keadaan
putranya saat hendak pergi belajar. Al-Imam Malik mengisahkan:
“Aku berkata kepada ibuku, ‘Aku akan pergi untuk belajar.’
‘Kemarilah!’ kata ibuku, ‘Pakailah pakaian ilmu!’ Lalu ibuku memakaikan
aku mismarah (suatu jenis pakaian) dan meletakkan peci di kepalaku,
kemudian memakaikan sorban di atas peci itu. Setelah itu dia berpesan,
‘Sekarang, pergilah untuk belajar!’ Dia juga pernah mengatakan,
‘Pergilah kepada Rabi’ah2! Pelajarilah adabnya sebelum engkau pelajari
ilmunya!’ (Waratsatul Anbiya’, hal. 39)
Biarpun dalam keadaan kekurangan, mestinya keadaan itu tidak
menyurutkan keinginan orangtua untuk memberikan yang terbaik bagi sang
anak. Lihat bagaimana ibu Al-Imam Asy-Syafi’i berusaha agar putranya
mendapatkan pendidikan dan pengajaran yang baik.
Diceritakan oleh Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullahu: “Aku adalah
seorang yatim yang diasuh sendiri oleh ibuku. Suatu ketika, ibuku
menyerahkanku ke kuttab3, namun dia tidak memiliki sesuatu pun yang bisa
dia berikan kepada pengajarku. Waktu itu, pengajarku membolehkan aku
menempati tempatnya tatkala dia berdiri. Ketika aku telah mengkhatamkan
Al-Qur’an, aku mulai masuk masjid. Di sana aku duduk di hadapan para
ulama. Bila aku mendengar suatu permasalahan atau hadits yang
disampaikan, maka aku pun menghafalnya. Aku tak bisa menulisnya, karena
ibuku tak memiliki harta yang bisa dia berikan kepadaku untuk kubelikan
kertas. Aku pun biasa mencari tulang-belulang, tembikar, tulang punuk
unta, atau pelepah pohon kurma, lalu kutulis hadits di situ. Bila telah
penuh, kusimpan dalam tempayan (guci) yang ada di rumah kami. Karena
banyaknya tempayan terkumpul, ibuku berkata, ‘Tempayan-tempayan ini
membuat sempit rumah kita.’ Maka kuambil tempayan-tempayan itu dan
kuhafalkan apa yang tertulis di dalamnya, lalu aku membuangnya. Sampai
kemudian Allah memberiku kemudahan untuk berangkat menuntut ilmu ke
negeri Yaman.” (Waratsatul Anbiya’, hal. 36)
Namun betapa mirisnya hati kita bila melihat anak-anak kaum muslimin
sekarang ini. Dalam usia yang sama dengan para tokoh ini tadi, mereka
tidak mempelajari ilmu agama ataupun memperbaiki adabnya. Akankah kita
biarkan ini terus berlangsung?
Wallahu ta’ala a’lamu bish-shawab.
1 Maimunah, istri Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, adalah
bibi Ibnu ‘Abbas, karena Maimunah adalah saudari Ummul Fadhl, ibu Ibnu
‘Abbas.
2 Al-Imam Rabi’ah rahimahullahu adalah guru Al-Imam Malik rahimahullahu.
3 Kuttab adalah tempat anak-anak kecil belajar baca-tulis Al-Qur’an, semacam TPA/Q di Indonesia
Komentar
Posting Komentar