Penulis: Al-Ustadz Abu Hamzah Yusuf Al-Atsari
Anak adalah harapan di masa yang akan datang. Kalimat ini seringkali
kita dengar dan sangat lekat di benak kita. Tak ada yang memungkiri
ucapan itu karena memang ia sebuah kenyataan bukan hanya sekadar
ungkapan perumpamaan, benar-benar terjadi bukan sebatas khayalan belaka.
Karenanya, sudah semestinya memberikan perhatian khusus dalam hal
mendidiknya sehingga kelak mereka menjadi para pengaman dan pelopor masa
depan umat Islam.
Lingkungan pertama yang berperan penting menjaga keberadaan anak
adalah keluarganya sebagai lembaga pendidikan yang paling dominan secara
mutlak, kemudian kedua orang tuanya dengan sifat-sifat yang lebih
khusus. Sesungguhnya anak itu adalah amanat bagi kedua orang tuanya. Di
saat hatinya masih bersih, putih, sebening kaca jika dibiasakan dengan
kebaikan dan diajari hal itu maka ia pun akan tumbuh menjadi seorang
yang baik, bahagia di dunia dan akhirat. Sebaliknya, jika dibiasakan
dengan kejelekan dan hal-hal yang buruk serta ditelantarkan bagaikan
binatang, bukan mustahil dia akan tumbuh menjadi seorang yang
berkepribadian rusak dan hancur. Kerugian mana yang lebih besar yang
akan dipikul kedua orang tua dan umat umumnya apabila meremehkan
pendidikan anak-anaknya.
Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam bersabda, “Setiap di antara
kalian adalah pemimpin dan akan dipertanggungjawabkan, seorang imam
adalah pemimpin akan diminta pertanggungjawabannya, seorang laki-laki
pemimpin atas keluarganya dan akan diminta pertanggungjawabannya,
seorang wanita pemimpin dalam rumah suaminya dan ia bertanggungjawab,
dan seorang budak adalah pemimpin dalam hal harta tuannya dan ia
bertanggungjawab. Ketahuilah bahwa kalian semua adalah pemimpin dan akan
diminta pertanggungjawabannya.” (HR Bukhari dan Muslim dari sahabat
Abdullah ibnu Umar Radiyallahu ‘anhu).
Dari sahabat Anas bin Malik, Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam
bersabda, “Sesungguhnya Allah Ta’ala akan mempertanyakan pada setiap
pemimpin atas apa yang dipimpinnya, apakah ia menjaganya ataukah
menyia-nyiakannya? Hingga seseorang akan bertanya kepada keluarganya.”
(HR Ibnu Hibban, Ibnu Ady dalam Al Kamil, dan Abu Nu’aim dalam Al Hilyah
dan dishahihkan oleh Al Hafizh dalam Al Fath 13/113). Demikian pula
dalam Shahih Bukhari dan Muslim, Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam
bersabda, “Bertaqwalah kalian kepada Allah dan berbuat adillah terhadap
anak-anakmu.” Sikap adil dan kasih sayang terhadap anak adalah dengan
mengajari mereka kebaikan, para orangtua menjadikan dirinya sebagai
madrasah bagi mereka.
Keluarga, terlebih khusus kedua orang tua dan siapa saja yang
menduduki kedudukan mereka adalah unsur-unsur yang paling berpengaruh
penting dalam membangun sebuah lingkungan yang mempengaruhi kepribadian
sang anak dan menanamkan tekad yang kuat dalam hatinya sejak usia dini.
Seperti Zubair bin Awam, misalnya. Ia adalah salah seorang dari pasukan
berkudanya Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam yang dinyatakan oleh
Umar ibnul Khattab, “Satu orang Zubair menandingi seribu orang
laki-laki.” Ia seorang pemuda yang kokoh aqidahnya, terpuji akhlaqnya,
tumbuh di bawah binaan ibunya Shafiyah binti Abdul Mutholib, bibinya
Rasulullah, dan saudara perempuannya Hamzah.
Ali bin Abi Tholib sejak kecil menemani Rasulullah Shalallahu ‘alaihi
wassalam, bahkan dipilih menjadi menantunya. Ia tumbuh sebagai seorang
pemuda sosok teladan bagi para pemuda seusianya di bawah didikan ibunya
Fathimah binti Asad dan yang menjadi mertuanya Khadijah binti Khuwailid.
Begitu pula dengan Abdullah bin Ja’far, seorang bangsawan Arab yang
terkenal kebaikannya, di bawah bimbingan ibunya Asma binti Umais.
Orang tua mana yang tidak gembira jika anaknya tumbuh seperti Umar
ibnu Abdul Aziz. Pada usianya yang masih kecil ia menangis, kemudian
ibunya bertanya, “Apa yang membuatmu menangis?” Ia menjawab, “Aku ingat
mati.” – waktu itu ia telah menghafal Al Qur’an – ibunya pun menangis
mendengar penuturannya. Berkat didikan dan penjagaan ibunya yang
shalihah Sufyan Ats Tsauri menjadi ulama besar, amirul mukminin dalam
hal hadits. Saat ia masih kecil ibunya berkata padanya, “Carilah ilmu,
aku akan memenuhi kebutuhanmu dengan hasil tenunanku.” Subhanallah!
Anak-anak kita rindu akan ucapan dan kasih sayang seorang ibu yang
seperti ini, seorang ibu yang pandangannya jauh ke depan. Seorang ibu
yang super arif dan bijaksana.
Para pembaca -semoga dirahmati Allah- lihatlah bagaimana para
pendahulu kita yang shalih, mereka mengerahkan segala usaha dan waktunya
dalam rangka men-tarbiyah anak-anaknya yang kelak menjadi
penentu baik buruknya masa depan umat. Jangan sampai seorang pun di
antara kita berprasangka mencontoh para pendahulu yang shalih adalah
berarti kembali ke belakang, kembali ke zaman baheula (istilah orang Sunda).
Di saat orang-orang berlomba-lomba meraih gengsi modernisasi,
ketahuilah bahwa mencontoh sebaik-baik umat yang dikeluarkan ke
tengah-tengah manusia adalah berarti satu kemajuan yang pesat, teknologi
canggih dalam membangun aqidah yang benar, memperbaiki moral yang bejat
serta membendung semaraknya free children sehingga mengantarkan
kepada apa yang telah diraih oleh generasi yang mulia yang tiada
tandingannya. Meniti jalannya mereka dalam rangka men-tarbiyah/mendidik
anak berarti tengah mempersiapkan konsep perbaikan umat di masa yang
akan datang, dimana tidak akan pernah menjadi baik generasi akhir umat
ini kecuali dengan apa yang menjadikan baik generasi umat pertama. Allah
berfirman, “Sesungguhnya telah Kami turunkan kepada kamu sebuah kitab
yang di dalamnya terdapat sebab-sebab kemuliaan bagimu, maka apakah kamu
tiada memahaminya.” (QS Al Anbiyaa: 10).
Perhatian serius dan tarbiyah yang benar kini sangatlah dibutuhkan di
zaman yang dipenuhi berbagai fitnah, fitnah syahwat dan syubhat yang
terus memburu anak-anak kita dari segala arah dihembuskan oleh da’i-da’i
sesat yang berada di pintu-pintu neraka jahanam. Allah berfirman, “…
sedang orang-orang yang mengikuti hawa nafsunya bermaksud supaya kamu
berpaling sejauh-jauhnya (dari kebenaran).” (QS An Nisaa: 27).
Benarlah apa yang dikatakan dalam sebuah syair:
Siapa menggembala kambing di tempat rawan binatang buas
Kemudian lalai darinya, singa akan merebut gembalaannya.
Kemudian lalai darinya, singa akan merebut gembalaannya.
Para pembaca -semoga dirahmati Allah- Islam sebagai agama yang universal tentu tidaklah mengesampingkan tarbiyah anak. Bahkan tarbiyah
anak adalah sorotan utama dalam Islam sebab Islam adalah agama
tarbiyah. Dengan posisi tarbiyah anak yang demikian pentingnya, maka
Allah Subhanahu wa Ta’ala mengabadikan wasiat Luqman, seorang hamba yang
shalih, kepada anaknya sebagai acuan bagi para murobbi/pendidik,
begitu pula dengan sosok pribadi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wassalam
sebagai seorang Rasul sekaligus menjadi imam para murobbi dunia.
Perhatian dan kecintaannya terhadap anak-anak sangatlah tinggi,
terlihat saat beliau mengajari Ibnu Abbas di usianya yang muda belia
sehingga tampillah Ibnu Abbas menjadi sosok pemuda yang berilmu,
bertaqwa, dan memiliki keberanian yang luar biasa. Salah satu bentuk
kasih sayangnya terhadap anak, beliau selalu mencium anak-anak bila
berjumpa, sebagaimana dalam Shahih Bukhari dari sahabat Abu Hurairoh, ia
berkata, “Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam mencium Hasan …”, juga
diriwayatkan oleh Imam Bukhori dalam Shohihnya dari sahabat Aisyah
radliyallahu ‘anha berkata, “Seorang badui datang menemui Nabi
Shalallahu ‘alaihi wassalam dan berkata: Kalian selalu menciumi
anak-anak, sedangkan kami tidak pernah menciuminya.” Lalu Nabi
Shalallahu ‘alaihi wassalam berkata, “Kami menginginkan agar Allah
mencabut kasih sayang dari hatimu.”, tidak ada bahan pengajaran yang
paling baik dan sempurna kecuali yang bersumber dari kitab dan sunnah
karena di situlah adanya ilmu yang mencakup segala bidang, seperti
ungkapan Imam Syafi’i:
Ilmu itu adalah ucapan Allah dan ucapan Rasul-Nya
Sedang selain dari itu adalah bisikan-bisikan syaithan.
Sedang selain dari itu adalah bisikan-bisikan syaithan.
Alangkah baik bila penulis uraikan beberapa langkah dasar dalam mendidik anak yang disarikan dari Al-Kitab dan Sunnah.
Pertama: mengajarkan tauhid kepada anak, mengesakan Allah
dalam hal beribadah kepada-Nya, menjadikannya lebih mencintai Allah
daripada selain-Nya, tidak ada yang ditakutinya kecuali Allah. Ini
pendidikan yang paling urgen (penting) di atas hal-hal penting lainnya.
Kedua: mengajari mereka sholat dan membiasakannya berjamaah.
Ketiga: mengajari mereka agar pandai bersyukur kepada Allah, kepada kedua orang tua, dan kepada orang lain.
Keempat: mendidik mereka agar taat kepada kedua orang tua
dalam hal yang bukan maksiat, setelah ketaatan kepada Allah dan
Rasul-Nya yang mutlak.
Kelima: menumbuhkan pada diri mereka sikap muraqabah merasa
selalu diawasi Allah. Tidak meremehkan kemaksiatan sekecil apa pun dan
tidak merendahkan kebaikan walau sedikit.
Keenam: memberitahu mereka akan wajibnya mengikuti sabilul mukminin al muwahhidin (jalannya mukminin yang bertauhid), salafush shalih generasi terbaik umat ini, dan memberikan loyalitas kepada mereka.
Ketujuh: mengarahkan mereka akan pentingnya ilmu Al Kitab dan Sunnah.
Kedelapan: menanamkan pada jiwa mereka sikap tawadlu, rendah hati, dan rujulah serta syaja’ah
(kejantanan dan keberanian). Dan masih banyak lagi selain apa yang
penulis uraikan di sini. Semoga Allah menganugerahkan kepada kita
anak-anak yang sholih. Amin ya Mujiibas sailiin. Allah berfirman, “Dan
orang-orang yang berkata: Ya Tuhan kami, anugerahkanlah kepada kami
istri-istri kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati kami dan
jadikanlah kami imam bagi orang-orang yang bertaqwa.” (QS Al Furqoon:
74).
Para pembaca -semoga dirahmati Allah- begitulah memang seharusnya
pendidikan anak ini menjadi kewajiban nomor satu bagi para orang tua,
menelantarkannya berarti menelantarkan amanat dan kepercayaan Allah,
membiarkannya adalah berarti membiarkan kehancuran anak, orang tuanya,
umat, bangsa, dan negara. Adapun mendidiknya adalah cahaya masa depan
umat yang cerah yang berarti juga mengangkat derajat sang anak dan
derajat kedua orangtuanya di surga. Rasulullah Shalallahu ‘alaihi
wassalam bersabda, “Akan diangkat derajat seorang hamba yang sholih di
surga. Lalu ia akan bertanya-tanya: Wahai Rabb apa yang membuatku
begini?” Kemudian dikatakan padanya, “Permohonan ampun anakmu untukmu.”
(HR Ahmad dari sahabat Abu Hurairah).
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, “Dan orang-orang yang beriman
dan yang anak cucu mereka mengikuti mereka dalam keimanan, Kami
hubungkan anak cucu mereka dengan mereka, dan Kami tiada mengurangi
sedikitpun dari pahala amal mereka, tiap-tiap manusia terikat dengan apa
yang dikerjakannya.” (QS Ath Thuur: 21).
Allah-lah yang memberi taufiq kepada apa yang dicintai-Nya dan diridlai-Nya.
Walhamdulillahi rabbil ‘alamin. Wal Ilmu indallah.
Walhamdulillahi rabbil ‘alamin. Wal Ilmu indallah.
(Dikutip dari tulisan Al Ustadz Abu Hamzah Al Atsari. Bulletin al Wal
wal Bara Edisi ke-14 Tahun ke-1 / 21 Maret 2003 M / 18 Muharrom 1424 H.
Url sumber http://.fdawj.atspace.org/awwb/th1/14.htm)
Komentar
Posting Komentar